Pembelajaran Mendalam, Guru Serba Bisa, dan Industri Pendidikan yang Terlalu Pandai Berjualan


EDUMART - Mengejar Mimpi. Pembelajaran mendalam kini menjadi kata kunci yang laris dijual dalam brosur pelatihan, paket kurikulum, dan proposal proyek pendidikan. Dunia pendidikan perlahan berubah menjadi pasar besar, dan guru—ironisnya—sering menjadi pelanggan paling setia, meski bukan pembeli yang paling diuntungkan. Di tengah derasnya arus komersialisasi pendidikan, tuntutan agar guru menerapkan pembelajaran mendalam kadang terasa seperti meminta nelayan menguasai peta digital lautan, sementara perahunya masih bocor di sana-sini.

Tantangan pertama justru datang dari industri pendidikan itu sendiri. Pembelajaran mendalam sering dikemas menjadi produk: modul premium, workshop eksklusif, pelatihan berbayar dengan jargon-jargon futuristik. Semua terdengar canggih, tetapi jarang menyentuh persoalan inti. Guru pulang dengan sertifikat, bukan dengan kemampuan yang benar-benar bisa dipraktikkan. Pasar pendidikan tumbuh subur, sementara ruang kelas tetap bergulat dengan masalah lama: waktu terbatas, fasilitas seadanya, dan tuntutan administrasi yang tak kunjung ramping.

Tantangan kedua adalah dilema profesionalisme guru. Dalam dunia yang sudah dikuasai indikator dan target, guru dipaksa menjadi profesional yang menguasai pedagogi, teknologi, psikologi, riset, sekaligus administrasi level dewa. Namun profesionalisme dalam bisnis pendidikan sering hanya diukur dari “seberapa banyak pelatihan yang diikuti”, bukan seberapa bermakna perubahan yang terjadi di kelas. Guru akhirnya terjebak dalam kompetisi sertifikat, bukan kompetisi kreativitas. Pembelajaran mendalam pun terseret menjadi tren, bukan transformasi.

Tantangan ketiga: kesenjangan antara tuntutan dan dukungan. Dunia industri vokasi bergerak cepat, menuntut lulusan yang adaptif, reflektif, dan mampu berpikir komputasional. Pembelajaran mendalam sangat relevan untuk itu. Namun guru sering bekerja dalam ekosistem yang bergerak lambat: anggaran minim, kurikulum berubah cepat, dan supervisi yang lebih fokus pada format daripada esensi. Dalam bahasa bisnis, guru diminta menghasilkan “produk premium” dengan “modal operasional” yang bahkan tidak cukup.

Implikasinya jelas: pembelajaran mendalam tidak akan tumbuh jika sistem masih memandang guru sebagai pelaksana teknis, bukan profesional intelektual. Dunia bisnis pendidikan boleh saja berkembang, tetapi ia seharusnya mendukung guru, bukan menjual solusi instan yang menambah beban.

Guru sebenarnya siap. Mereka terbukti mampu beradaptasi, berinovasi, dan belajar ulang. Yang belum siap adalah ekosistem yang masih lebih sibuk memonetisasi perubahan daripada memastikan perubahan itu sungguh terjadi.

Jika benar pendidikan ingin melahirkan pemikir mendalam, maka berhentilah memperlakukan guru sebagai pelanggan pasar pendidikan. Berikan mereka posisi sebagai mitra profesional. Dari sanalah kedalaman pembelajaran akan benar-benar tumbuh—bukan sebagai produk, tetapi sebagai gerakan.

Diskusi